Total Penayangan

Popular Posts

Followers

17 March 2009

The Survivors

Kompas, Sabtu 7 Maret 2009
Belakangan ini, dari berbagai arah, baik dalam pertemuan maupun melalui mailbox saya, kiriman CV bertambah, dari mereka yang menvcari kesmpatan untuk “lompat” ke tempat kerja baru. Ketika salah satu CV saya tanggapi dan menggali lebih dari alasannya untuk berpindah kerja, yang bersangkutan menjawab bahwa ia berjaga-jaga, karena perusahaannya kelihatan sedang “berbenah”. Sebagai dampak terhadap krisis global saat ini, kita sama-sama menyadari bahwa memang di banyak perusahaan tengah dilakukan evaluasi dan pencermatan terhadap efektivitas sumber daya manusianya.
Memang kenyataan yang sudah lumrah bahwa investasi di human capital akan segera dianggap sebagai investasi yang mudah dipangkas. Dari pihak perusahaan, secara law of commerce ada kecenderungan menganggap karyawan sebagai beban. Dari pihak karyawan, meskipun ada yang optimis, tak urung mencuat rasa was-was bahwa dialah yang akan dipilih untuk “dilepas”, entah karena gaji yang dianggap terlalu besar atau karena merasa bahwa produktivitasnya tidak terlalu nyata.
Dalam situasi ini, bersikap pasif sudah pasti salah. Namun, untuk bersikap proaktif juga tidak selamanya dibenarkan. Proyek yang sedang berjalan dibekukan, sementara proyek baru ditunda. Anak buah berharap pada kita, sementara atasan juga tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan yang kita ajukan. Sementara karyawan sadar bahwa gaji tidak bisa dinaikan, biaya perlu ditekan dan semua orang dituntut bekerja ekstra keras untuk “menyelamatkan” angka penjualan, mungkinkah ada sikap yang tepat dalam menghadapi situasi ini?
Berpikir dan Bersikap sebagai “Survivor”
Seorang partner di McKinsey, saat ditanya oleh seorang peserta ceramah mengenai kunci suksesnya meraih jenjang bergengsi di konsultan ternama itu menjawab, “Bila ingin menjadi partner, bersikaplah sebagai partner, bersikaplah sebagai partner.” Nasihat itu sebetulnya bisa kita terapkan dalam situasi di mana kita tidak berada dalam posisi yang menentukan. Dalam krisis dan posisi terjepit, kita tidak perlu bersikap sebagai objek yang tidak berdaya, karena itu akan membuat diri kita benar-benar tidak berdaya.
Bersikap seolah-oleh kita memegang posisi yang menentukan atau berada dalam tim yang hebat akan sangat membantu produktivitas. Berpikir dan bersikap survivor membuat orang akan tenggelam dalam sikap pesimis. Tentu saja, kewaspadaan perlu ditingkatkan, namun bersikap ceria dan pede sangat dibutuhkan, baik oleh diri kita sendiri maupun orang di sekitar kita. Dalam keadaan sesulit apapun, orang tentu akan memilih ripada yang belum-belum sudah lesu, bukan?
Fokus ke Masa Depan
Berfokus ke masa depan ternaya menimbulkan “power” tersendiri. Konon, para survivor atau mereka yang kebanyakan bertahan di kamp konsentrasi Jerman adalah mereka yang tak putus harapan pada masa depan. Dalam pembahasan Mourning and Melancholia, Bapak Psikologi, Freud, juga mengatakan bahwa seseorang bisa keluar dari masa masa depresinya, hanya bila ia bisa melihat masa depan yang lebih cerah dan membayangkan masa depannya dengan jelas. 
Dalam bisnis, berangan-angan mengenai masa depan bentuknya tentu sedikit berbeda. Survivor dalam bisnis, perlu berantisipasi dengan memfokuskan pada kebutuhan pelanggan di masa depan. Bisa jadi berfokus pada pelanggan adalah satu-satunya jalan keluar di masa sulit begini, karena tanpa pelanggan, perusahaan tidak bisa meneruskan bisnis.
Saat kondisi sulit begini, kita pun perlu sedikit menelan gengsi. Turun tangan langsung mengunjungi pelanggan yang selam ini didelegasikan ke anak buah, menunjukan sikap kooperatif saat diharuskan beketja di bawah komando kolega yang lebih junior karena adanya peleburan devisi, ataupun berdiri langsung sebagai frontliners untuk melayani langsung, malahan akan terlihat keren karena mengekspresikan fleksibelitas dan kemampuan kita.
Ikatan emosional
Inilah sebetulnya saat-saat di mana kita betul-betul perlu mempraktikan kemampuan kita berempati. Tantangan yang meningkat, krisis dan deraan bekerja lebih keras untuk survive, kadang membuat banyak orang merasa dirinya paling susah sedunia, sehingga menutup mata untuk merasakan apa yang dirasakan oleh teman, bahkan atasannya. Di masa sulit begini, banyak pimpinan perusahaan yang merasa “lonely”, karena adanya hambatan bagi mereka untuk sharing perasaan dan kecemasannya pada anak buah. Hal ini bukan disebabkan karena kerahasiaan atau tuntutan perusahaan, tetapi lebih pada lemahnya koneksi atau ikatan emosional antara pimpinan dengan bawahan, sehingga bawahan pun tidak ada yang mendekatkan diri dan menunjukan ketulusan rasa empatinya terhadap kesulitan pimpinan.
Emotional bonding, meskipun sudah ada dalam diri setiap individu sebagai manusia, perlu juga dipelajari dan senantiasa kita asah. Dengan kesamaan rasa terhadap krisis yang dihadapi, karyawan perusahaan bahkan bisa lebih kompak, merapatkan barisan untuk memperkuat kelompok dan merasakan kesatuan yang menginspirasikan. 
Terlihat, Terdepan
Di era elektronik, di mana orang mudah mengekspresikan dirinya di dunia cyber melalui twitter, facebook, dan media gaul lainnya, jagan sampai kita lupa bahwa “penampakan” riil sangat berguna, bahkan tidak tergantikan. Untuk membangun kredibilitas dan terlihat, tentu saja kita perlu hadir dan berpartisipasi lebih banyak. Seorang teman kerja kerap berujar :”kerjaan numpuk, dikejar deadline”, saat ditanyakan alasan mengapa ia sering absen dalam acara informal kantor atau baru hadir pada saat acara sudah akan berakhir. Bolak-balik melontarkan éxcuse seperti ini tentu saja tidak mendatangkan simpati, bahkan bisa jadi orang malah mempertanyakan kemampuan kita untuk mengelola pekerjaan secara smart.
Merasa tidak jagoan juga bukan alasan kita untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan olah raga. Kita bisa hadir for fun untuk meramaikan acara. Excuse bahwa kita lemah dan berpenyakit dalam acara outing misalnya, hanya menyebabkan orang berpikir bahwa kita memang orang yang lemah. Kita perlu mengupayakan agar menjadi cooperate citizen yang utama. Bila bukan sebagai pengurus, jadilah partisan terdepan.
Eileen Rachman & Sylvina Savitri


0 komentar

Post a Comment

home